1. Latar
belakang
Bangsa Eropa datang ke wilayah
Nusantara pada awalnya memiliki tujuan untuk mencari rempah-rempah dan
berdagang. Hal tersebut yang dilakukan oleh Portugis, sebagai bangsa Eropa
pertama yang datang ke wilayah Nusantara dengan motif ekonomi, petualangan, dan
agama. Kedatangan bangsa Eropa ke Nusanta juga dilatarbelakangi oleh jatuhnya
kota Konstantinopel sebagai pusat perdagangan rempah-rempah ke tangan Turki
Usmani pada tahun 1453. Seiring dengan hal tersebut, pekembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti perkapalan, navigasi, dan kompas di Eropa
turut memicu adanya penjelajahan samudra sampai ke wilayah Nusantara.
Begitu juga halnya dengan
Belanda. Pada abad ke 15, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda hanya
sebatas pada perdagangan garam, anggur, dan tekstil serta mendistribusikan
rempah-rempah dari Asia ke pelabuhan Lisabon, pelabuhan baru setelah jatuhnya
konstantinopel. Namun, pecahnya perang antara Belanda dengan Spanyol pada tahun
1568 yang dikenal dengan perang 80 tahun menyebabkan pelabuhan Lisabon jatuh ke
tangan Spanyol pada tahun 1580 sehingga perdagangan dan distribusi barang yang
dilakukan oleh Belanda menjadi terhambat bahkan akhirnya terhenti. Dengan
jatuhnya Lisabon ke tangan Spanyol, maka Belanda berinisiatif untuk medatangi
langsung sumber
rempah-rempah.
Saat Belanda tiba di Banten,
saat itu kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abdulmafakhir Mahmud
Abdulkadir. Belanda kemudian menjadi tertarik dengan Banten karena Banten
merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara pada abad ke 16. Dengan
adanya lada, para pedagang baik dari Cina, Arab, maupun bangsa Eropa tertarik
untuk berdagang di Banten. Dengan potensi yang ada pada Banten, maka VOC yang
kemudian mewadahi kongsi dagang Belanda hendak menguasai Banten dan memonopoli
perdagangan secara keseluruhan. Hal tersebut sangat ditentang oleh sultan yang
berkuasa saat itu, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.
2.
Penyebab Perlawanan Banten Terhadap
VOC
Potensi alam
yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten adalah
penghasil lada terbesar di Jawa Barat dengan dibukanya lahan pertanian dan
sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak
geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat
pertemuan. Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai Rendez-vous,
yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan
fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan
berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur
Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.
Untuk dapat menguasai Banten,
langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan memblokade akses menuju ke
pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor perekonomian Banten.
Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh Belanda. Selain
itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda
sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan dan
kegiatan perekonomi terganggu.
3. Awal
Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC Tahun
1651-1682
Menyikapi hal tersebut, Banten
mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang
bernaung dibawah VOC. Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan
terhadap segala instalasi milik VOC di wilayah kekuasaan kesultanan Banten.
Dengan tindakan perlawanan demikian, Sultan Ageng Tirtayasamengharapkan agar
VOC segera meninggalkan Banten.
Untuk meredakan perlawanan
tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada tahun 1655 dengan
menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang
menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan
Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada
tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan
terhadap kebun-kebun tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas
patroli, dan pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan
dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal
milik Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga untuk memasuki Banten,
diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.
Saat perlawanan sering terjadi,
Sultan Ageng Tirtayasa seringkali mengadakan hubungan kerjasama dengan
kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan Mataram serta dengan Turki,
Inggris, Perancis, dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Banten dapat memperkuat
kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari Turki, Inggris,
Perancis, dan Denmark inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata
api. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang
dikuasai oleh kesultanan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri
dalam kesatuan pasukan Surosowan
Menghadapi kenyataan tersebut,
VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan menyewa serdadu-serdadu dari
Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis karena serdadu
Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu
pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu Belanda
lebih banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut
Semakin kuatnya pasukan Banten,
ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam menghadap Banten karena sedang
berperang dengan Makasar membuat VOC pada sekitar bulan November dan Desember
1657 mengajukan penawaran gencatan senjata. Pertempuran antara Banten dan VOC
ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan senjatapun baru dapat
dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa
pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi
sepuluh pasal. Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua
pasal perubahan. Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan
peperangan kembali terjadi
Penolakan dari VOC tersebut
semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa bahwa tidak akan ada
kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga jalan satu-satunya
adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng
Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke
VOC pada tanggal 11 Mei 1658. Pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten
berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan
tanggal 10 Juli 1659.
Pada dasarnya, perlawanan Banten
terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata dipicu
oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC. Lurah Astrasusila yang
saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang Belanda di
atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya berhasil
diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah
Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita
mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa
sehingga memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten.
Penyerangan yang dilakukan
Benten secara terus menerus terhadap VOC membuat kedudukan VOC semakin terdesak
sampai medekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC mengajukan gencatan senjata.
Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan senjata, maka VOC
membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut. Maka sultan
Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai
Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian
gencatan senjata antara Banten dan VOC.
Gencatan senjata ini
dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan konsolidasi kekuatan,
diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan Denmark,
dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade
yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai cara
yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan
pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti
Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda
tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan
Banten.
4. Munculnya
Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC
Setelah perjanjian gencatan
senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut untuk mempersulit kedudukan Banten.
Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama dengan kesultanan
Cirebon dan kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika Amangkurat II
menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di bawah
kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali VOC,
maka posisi Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan
kesultanan yang memiliki hubungan baik dengan Banten.
Posisi tersebut makin sulit
dengan terjadinya perpecahan di dalam kesultanan Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu
Pangeran Gusti dan Pangeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing
untuk mengurusi kedaulatan ke dalam kesultanan. Sementara kedaulatan keluar
kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan
ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W. Caeff yang kemudian
mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya dan saudaranya
sendiri.
Pada saat itu, Pangeran Gusti
pergi ke Mekkah dengan meninggalkan kekuasaannya untuk sementara waktu dan
kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada adiknya yaitu
Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti yang bergelar Sultan Abu
Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dari Mekah,
kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Purbaya semakin meluas sehingga membuat
Sultan Haji iri. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba
antara Sultan Haji dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan
adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk
memadamkan dan memperlemah kekuatan Banten.
5. Akhir
Perlawanan Banten Terhadap VOC
Rasa iri dan kekhawatiran Sultan
Haji akan kekuasaannya melahirkan persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta
kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan mengajukan empat
syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada dikendalikan oleh
VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik pasukan Banten
yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan. Syarat tersebut
dipenuhi oleh Sultan haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecahlah perang
antara Sultan Haji dengan dibantu VOC melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan
Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di
kesultanan Banten.
Namun, pasukan yang dipimpin
oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC
bersama dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan
Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten Sloot dan W. Caeff,
Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di
Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru
dengan VOC yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten. Setelah perjanjian
tersebut, tanggal 7 April 1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin
oleh Francois Tack dan De Sant Martin, dibantu oleh Jonker, tokoh yang
memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan loji dari
kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah itu, pemberontakan terus
terjadi meskipun VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk
menyerah. Untuk menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus 52
orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil
dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung
iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal 14
Maret 1683. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya
Purbaya berhasil lolos. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia
sampai meninggal pada tahun 1692.
Sultan Haji sendiri akhirnya
naik tahta dengan restu VOC, memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687.
Pada tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa Belanda,
Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai
berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan dimulainya monopoli VOC atas
Banten. Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan Ageng Tirtayasasetelah
dikhianati oleh anaknya sendiri.